JEJAK YANG MEMUDAR

$rows[judul]

MITRA TV LAMPUNG. COM

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Lampung 

Saat melangkah meninggalkan ruangan untuk pulang, dalam perjalanan menuju Lift, berjumpa dengan dosen yang sudah tidak muda lagi; dalam obrolan ngalor-ngidul itu terselip ucapan yang mengatakan bahwa; beliau mendapatkan komen dari mahasiswanya bahwa mengapa pejabat sekarang sulit ditemui, karena diajarkan oleh dosen-dosennya dikampus, jika mau ditemui sulitnya bukan main. Akhirnya prilaku ini membentuk perilaku mahasiswanya saat setelah selesai kuliah dan menjadi pejabat. Sontak kalimat ini mengingatkan gurauan mahasiswa pascasarjana yang berkata “lebih mudah bertemu malaikat dari pada bertemu dosen, oleh karena itu juga kita lebih mudah melupakan dosen dari pada melupakan malaikat”. Celotehan tadi membuat perenungan berjalan menelusuri ruang-ruang ingatan; bulir-bulir filsafat kontemporer atau kekinian, seolah menemukan peneguhan untuk dijadikan pintu masuk mengkaji fenomena ini.

Dalam perjalanan akademik, hubungan antara mahasiswa dan dosen menjadi salah satu ikatan yang secara tradisional dianggap sakral dan penuh makna. Namun, kecenderungan yang muncul belakangan ini menunjukkan sebuah fenomena yang menarik: mahasiswa secara perlahan namun pasti melupakan dosen-dosennya. Fenomena ini bukan sekadar persoalan ingatan individual, melainkan merupakan gejala yang mencerminkan transformasi yang lebih mendalam dalam konteks sosial, budaya, dan eksistensial di era kontemporer. Melalui lensa filsafat kontemporer, kita dapat mencoba menelusuri akar dan makna dari kecenderungan ini, yang pada gilirannya membuka dialog kritis tentang hakikat pendidikan, otoritas, serta hubungan manusia dalam masyarakat modern.

Pertama, penting untuk dipahami bahwa ingatan bukanlah sekadar rekaman pasif dari masa lalu, melainkan sebuah konstruksi aktif yang senantiasa dibentuk dan dibentuk ulang oleh konteks sosial dan kondisi psikologis individu. Dalam konteks mahasiswa dan dosen, ingatan terhadap sosok dosen bukan hanya berkaitan dengan siapa mereka secara personal, tetapi juga bagaimana peran dosen itu dimaknai dalam struktur pendidikan dan kehidupan sosial. Dalam kultur yang semakin mengedepankan efisiensi, utilitas, dan pragmatisme, peran dosen sering kali direduksi menjadi fungsi administratif dan instruksional semata. Hal ini menyebabkan hubungan yang seharusnya bermakna dan transformatif menjadi dangkal dan instrumental, sehingga ingatan terhadap dosen pun mudah memudar.

Kecenderungan ini juga dapat dilihat sebagai konsekuensi dari perubahan paradigma dalam cara pengetahuan diproduksi dan disebarkan di era digital. Mahasiswa kini memiliki akses tanpa batas ke sumber informasi yang luas dan beragam, sehingga ketergantungan mereka pada dosen sebagai sumber otoritatif mulai berkurang. Dalam kerangka ini, dosen tidak lagi diposisikan sebagai satu-satunya penjaga kebenaran atau pengetahuan yang harus diikuti secara mutlak. Perubahan ini menggeser dinamika otoritas dan mengaburkan batas antara guru dan murid, sehingga hubungan yang semula didasarkan pada hierarki kini menjadi lebih egaliter, tetapi sekaligus lebih rapuh dan mudah terlupakan. Ingatan terhadap dosen pun menjadi subordinat terhadap kebutuhan praktis dan kecepatan akses informasi.

Dari perspektif eksistensial, hubungan mahasiswa-dosen tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal perjumpaan manusia dengan manusia yang lain dalam sebuah ruang transformasi diri. Namun, dalam dunia modern yang sarat dengan tekanan produktivitas dan pencapaian hasil, ruang transformasi ini sering kali terpinggirkan. Mahasiswa didorong untuk mengejar hasil dan gelar tanpa memberikan waktu dan ruang untuk refleksi mendalam atas pengalaman belajar dan interaksi personal dengan dosen. Akibatnya, hubungan ini menjadi sebuah transaksi yang cepat berlalu dan kehilangan dimensi manusiawi yang seharusnya mengakar pada kehadiran dan perhatian yang penuh. Dalam konteks ini, lupa terhadap dosen adalah refleksi dari kehilangan jejak humanitas yang sempat terukir dalam proses pembelajaran.

Selain itu, fenomena pelupaan ini dapat dianalisis melalui konsep temporalitas kontemporer, di mana waktu dipersepsikan sebagai sebuah dimensi yang semakin dipadatkan dan dipercepat. Dalam masyarakat yang semakin terjerat oleh teknologi dan tekanan waktu, pengalaman masa lalu, termasuk pengalaman belajar dengan dosen, terasa semakin jauh dan kurang relevan. Kesibukan dan arus informasi yang tak henti membuat mahasiswa sulit untuk berhenti dan merenung, sehingga memori terhadap sosok dosen menjadi terlupakan secara perlahan tapi pasti. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam hubungan manusia dengan waktu dan ingatan, di mana yang hadir hanya adalah saat ini yang terus-menerus bergerak tanpa henti.

Dalam ranah ontologis, fenomena pelupaan dosen ini juga menyentuh pada pertanyaan tentang keberadaan dan makna peran dosen itu sendiri. Dosen tidak hanya berfungsi sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembentuk identitas akademik dan pribadi mahasiswa. Ketika ingatan terhadap dosen memudar, ini berarti ada kehilangan sebagian dari identitas tersebut, sekaligus pelemahan fondasi eksistensial yang membentuk mahasiswa sebagai subjek pengetahuan dan refleksi. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, kehilangan ingatan terhadap sosok yang pernah membimbing bisa diartikan sebagai hilangnya jejak keberadaan yang pernah memberikan makna dan arah.

Sementara itu, fenomena ini juga membuka refleksi tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan semata-mata tentang transfer pengetahuan dan keterampilan, ataukah juga tentang pembentukan karakter, nilai, dan hubungan antarmanusia? Melupakan dosen mungkin menjadi indikasi bahwa pendidikan saat ini terlalu fokus pada output yang bisa diukur dan kurang memberi ruang pada proses hubungan personal yang esensial. Dalam filsafat pendidikan kontemporer, hal ini mengundang kritik terhadap model pendidikan yang terlalu instrumental dan mengabaikan dimensi etis dan eksistensial dari proses belajar.

Selain itu, dari perspektif fenomenologi, proses belajar adalah sebuah perjumpaan antar subjek yang membuka ruang pengalaman bersama. Namun, dalam kondisi modern, perjumpaan ini sering terfragmentasi oleh mekanisme pendidikan yang birokratis dan teknologi yang mengotomatisasi interaksi. Fragmentasi ini menyebabkan kehilangan rasa kehadiran yang autentik, yang merupakan syarat utama agar ingatan terhadap dosen tetap hidup dan bermakna. Ketika kehadiran hilang, maka jejak hubungan pun ikut memudar, sehingga lupa terhadap dosen menjadi sebuah keniscayaan.

Lebih jauh, pergeseran ini mencerminkan suatu transformasi budaya yang berorientasi pada budaya cepat (fast culture), di mana segala sesuatu ingin diperoleh dan dilupakan dengan cepat. Dalam budaya seperti ini, hubungan dan pengalaman cenderung diperlakukan sebagai konsumsi sementara, bukan sebagai investasi jangka panjang yang membentuk identitas dan karakter. Mahasiswa yang lupa terhadap dosen adalah manifestasi dari budaya yang mengutamakan kesegeraan dan efisiensi, sehingga nilai-nilai penghargaan, penghormatan, dan kenangan menjadi tersisihkan.

Sebagai kesimpulan reflektif, fenomena mahasiswa yang secara perlahan tapi pasti melupakan dosen-dosennya adalah gejala kompleks yang mencerminkan transformasi mendalam dalam cara manusia berhubungan dengan ingatan, otoritas, waktu, dan makna dalam dunia kontemporer. Ia mengundang kita untuk mempertanyakan kembali makna pendidikan, hakikat hubungan manusia, serta nilai-nilai yang menopang kehidupan intelektual dan eksistensial. Melalui pemahaman filsafat kontemporer, kita dapat melihat bahwa pelupaan ini bukan hanya persoalan individual, melainkan bagian dari perubahan sosial dan kultural yang memerlukan perhatian kritis dan refleksi mendalam. Mengingat kembali dosen bukan sekadar soal menghormati figur masa lalu, tetapi juga soal mempertahankan jejak humanitas, makna, dan keberlanjutan dalam dunia pendidikan dan kehidupan bersama.

Salam Waras

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)